Kekayaan Migas Nasional Dikuasai Asing

Menjelang penentuan presiden dan penentuan legislatif 2019, isu mengenai kekayaan sumber kekuatan alam Indonesia, terhitung minyak dan gas (migas) dikuasai pihak asing lagi mengemuka. Sebenarnya kabar kekayaan migas dikuasai asing, bukanlah perihal baru. Pada 2014 lampau, pernah terlihat peta Indonesia yang dipenuhi bersama dengan gambar bendera negara lain tersebar di sejumlah daerah. Bendera selanjutnya menyimbolkan bahwa pihak asing menguasai sumber kekuatan alam bersifat migas di sejumlah daerah. Namun, benarkah demikian?

Ia pun menjelaskan, negara-negara yang menggarap sumur migas di Indonesia tak serta merta menguasai atau memiliki lapangan migas tersebut. Selain itu, Faisal Basri kala itu mengajak penduduk untuk meneliti isikan kontrak kerja mirip pengelolaan migas. Pasalnya, sektor hulu migas di Indonesia memiliki skema kontrak kerja mirip yang spesifik, baik sistem pencarian cadangan atau yang biasa disebut eksplorasi maupun sistem pengambilan atau yang disebut eksploitasi.

Aktivitas hulu migas di Indonesia dikerjakan berdasarkan kontrak bagi hasil atau production share ongkos (PSC). Skema ini mengoptimalkan penerimaan negara, sekaligus menjaga berasal dari paparan risiko tinggi, utamanya terhadap fase eksplorasi. Kontrak bagi hasil selanjutnya merupakan kerja mirip pada pemerintah Indonesia bersama dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kontraktor KKS).

Dalam kerja mirip itu, pemerintah diwakili Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Flow Meter SHM. Dalam sistem PSC, negara sebagai pemilik sumber daya, namun kontraktor sebagai penggarap. Adapun modal atau investasi di sajikan oleh kontraktor. Pengembalian ongkos investasi diambilkan berasal dari hasil mengolah (cost recovery), namun pengeluaran untuk investasi disepakati oleh ke dua belah pihak. Adapun risiko investasi di era eksplorasi ditanggung kontraktor.

Jika investasi ternyata dry hole atau tidak mendapatkan cadangan yang ekonomis, maka tidak akan ada pengembalian ongkos investasi gara-gara tidak ada mengolah yang dihasilkan. Pada skema ongkos recovery, sumber kekuatan migas selamanya jadi milik negara hingga terhadap titik serah.

Selama sumber kekuatan migas masih berada di dalam lokasi kerja pertambangan atau belum lepas berasal dari titik penjualan yaitu titik penyerahan barang, maka sumber kekuatan alam migas selanjutnya masih jadi milik pemerintah Indonesia.

Lahirnya skema baru Wakil Menteri ESDM Archandra Thahar yang dikutip laman skkmigas.go.id mengatakan, pembagian hasil PSC ongkos recovery 85 % berasal berasal dari mengolah dikurangi ongkos operasi. Penentuan porsi negara dibandingkan kontraktor menggunakan skema ongkos recovery mengakibatkan perdebatan tanpa ujung. Setiap tahun, tren ongkos recovery relatif meningkat.

Pada 2010, ongkos recovery kurang lebih 11,7 miliar dollar AS dan meningkat jadi 16,2 miliar dollar AS terhadap 2014. Namun, kebijakan capping ongkos recovery terhadap 2017 mengakibatkan penerimaan migas bagian pemerintah sebesar 12,7 miliar dollar AS jadi lebih tinggi dibandingkan ongkos recovery kurang lebih 10,1 miliar dollar AS.

Berpijak terhadap persoalan itulah, pemerintah mengeluarkan opsi skema bisnis hulu migas yang baru yaitu gross split. Awal 2017, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengumumkan skema kontrak bersama dengan pembagian hasil berdasarkan mengolah (gross split). Dengan skema baru itu, ongkos operasi seutuhnya jadi tanggung jawab Kontraktor KKS.

Berbeda bersama dengan skema ongkos recovery, di mana ongkos operasi terhadap kelanjutannya jadi beban pemerintah. Oleh karenanya, kontraktor akan lebih memperhatikan efisiensi ongkos operasi. Dalam gross split, perhitungan bagi hasil pengelolaan lokasi kerja migas pada pemerintah dan Kontraktor KKS diperhitungkan di awal. Melalui skema ini, negara akan meraih bagi hasil migas dan pajak berasal dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Hasilnya, penerimaan negara jadi lebih pasti.

Lewat skema baru itu, negara tidak akan kehilangan kendali gara-gara penentuan lokasi kerja, kapasitas mengolah dan lifting, serta pembagian hasil selamanya di tangan pemerintah. Perhitungan gross split akan berbeda-beda tiap tiap lokasi kerja. Perhitungan yang pasti terdapat terhadap kadar bagi hasil base split. Untuk base split minyak, pembagiannya adalah 57 % untuk negara dan 43 % Kontraktor KKS. Sementara, pembagian untuk gas bumi 52 % untuk negara, 48 % untuk kontraktor.

Selain kadar base split, Kontraktor KKS berpeluang akan mendapat tambahan bagi hasil berasal dari variable split dan progressive split. Variable split ditentukan berdasarkan penilaian terhadap 10 parameter yang mewakili tingkat susah berasal dari pengembangan lapangan migas.

Parameter variable split terdiri berasal dari standing lokasi kerja, lokasi lapangan, kedalaman reservoir, ketersediaan infrastruktur, style reservoir, kadar C02, kadar H2S, berat style minyak bumi, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), dan tahapan mengolah (primary, secondary, atau tertiary). Sedangkan, progressive split ditentukan berdasarkan perubahan terhadap tiga parameter yang berdampak segera terhadap pendapatan kotor terhadap waktu.

Tiga parameter selanjutnya adalah harga minyak, harga gas, dan mengolah kumulatif. Misalnya, Kontraktor KKS akan mendapat tambahan split kecuali lokasi kerjanya memiliki tingkat susah tinggi. Selain itu, Kontraktor KKS terhitung akan mendapat tambahan split kecuali kadar pemakaian komponen lokal lebih besar. Menteri Ignasius Jonan menegaskan, pemerintah mampu kurangi beban APBN bersama dengan skema gross split. Pasalnya, ongkos operasi tak lagi dibebankan ke negara melainkan ke kontraktor migas.

Dengan skema gross split, Kontraktor KKS diinginkan mampu lebih efektif di dalam menggerakkan investasinya di Indonesia. Di sisi lain, pemerintah tak lagi disibukkan bersama dengan ongkos recovery sebagai bagian berasal dari skema bisnis sebelumnya. Lewat skema gross split, sumber kekuatan alam migas merupakan milik negara hingga bersama dengan titik penyerahan.

Pembagian hasil mengolah yang udah disepakati di dalam kontrak dikerjakan di titik penyerahan. Hal itu diatur di dalam pasal 6 UU Nomor 22 Tahun 2001 mengenai Minyak dan Gas Bumi. Peran SKK Migas di dalam penerapan gross split Dengan adanya skema bisnis baru ini, SKK Migas sebagai perwakilan pemerintah di dalam bisnis industri hulu migas selamanya memiliki kewenangan, walaupun tugas di dalam perhitungan dan pengawasan ongkos recovery tidak ada lagi. Tugas SKK Migas bukan lagi memeriksa biaya, melainkan memiliki fokus baru di bidang produksi, eksplorasi, keamanan, dan keselamatan kerja.

“Pengawasan selamanya berada di SKK Migas dikala skema gross split diberlakukan. Misalnya pengajuan rencana kerja Kontraktor KKS. Melalui skema baru ini kontraktor tak mesti lagi mengajukan cermat anggaran ongkos yang mesti diganti pemerintah gara-gara seluruh ongkos operasi diganti oleh kontraktor.

Di samping itu, SKK Migas berperan mengawasi pemakaian komponen lokal dan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang akan dipakai kontraktor migas. Lembaga ini terhitung selamanya berperan mengawasi segi keamanan, keselamatan kerja, keamanan dan lingkungan (Health Safety Security Environment/HSSE) kontraktor migas. Lebih berasal dari itu, Wamen ESDM Archandra Thahar menegaskan, SKK Migas kini terhitung berperan di dalam menyepakati rencana kerja Kontraktor KKS.

“Fungsi SKK (sebelum gross split) itu WP&B (Work Program&Budget). (Setelah gross split) programnya masih mesti disetujui oleh SKK Migas,” ujar dia. Dengan demikian, SKK Migas berperan menjaga reservoir milik negara agar Kontraktor KKS tak mampu teledor mengeksplorasi dan mengeksploitasi migas di Indonesia.

Tugas SKK Migas lainnya yaitu mengawasi TKDN. Pasalnya, komponen itu merupakan keliru satu segi yang mempengaruhi naik turunnya besaran split yang di terima Kontraktor KKS. Sebagai informasi, Kontraktor KKS yang menggunakan TKDN di bawah 30 % tidak akan meraih tambahan split.

Sebaliknya, Kontraktor KKS yang menggunakan TKDN di atas 70 % maka akan mendapat split sebesar 4 persen. Bagaimana, bersama dengan fakta-fakta seperti, apakah masih percaya kecuali migas Indonesia dikuasai oleh pihak asing atau malah sebaliknya?