Beberapa kala lalu, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno, resmikan pemanfaatan alat instalasi pengolahan air limbah (IPAL) punya PD PAL Jaya di Duri Kosambi, Jakarta Barat.

Dalam acara peresmian itu, Sandiaga Uno sempat menyebutkan mesin berikut mampu produksi limbah tinja menjadi air yang siap untuk diminum.

“Air tinja yang diolah oleh PD PAL Jaya mampu dilaksanakan suatu proses yang umumnya makan tujuh hari dan menjadi air buangan, di dalam kala setengah jam mampu menjadi air yang mampu di-utilitas, tambah sebetulnya layak minum

Publik lantas mempertanyakan kelayakan air bersih olahan limbah tinja ini untuk diminum. Belum lagi, masyarakat Indonesia yang umumnya muslim pun bertanya-bertanya apakah air ini juga mampu digunakan untuk menyucikan diri sebelum ibadah salat atau wudu.

Dirut PD PAL Jaya, Subekti, lantas mengoreksi pernyataan Sandiaga. Menurutnya, air yang dihasilkan berasal dari pengolahan PD PAL adalah air untuk keperluan utilitas, bukan untuk diminum.

“PD PAL mengembangkan ini sebetulnya tujuannya bukan untuk air minum, tujuannya produksi limbah ini menjadi baku mutu yang lebih baik. Tujuan ke dua tentu efisiensi cost pengolahan agar kami wajib berinovasi,” ujar Subekti kepada BBC News Indonesia.

Hal ini pun diamini oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Isnawa Adji.

Menurut dia, banyak negara sebetulnya telah menerapkan teknologi pengolahan air limbah untuk air minum. Namun, air olahan berasal dari mesin hasil temuan dua anak negeri ini dikhususkan untuk utilitas perawatan.

“Penjernihan air sebetulnya air berasal dari mana-mana, lantas di-treatment dengan tingkat Ph dan asam lebih teknis, tersedia segi tertentu air itu mampu diarahkan untuk air minum, tetapi sebetulnya lebih dipakai untuk menjaga kota, jikalau untuk tanaman, untuk membilas kawasan-kawasan tertentu dengan Flow Meter Air Limbah.

Awal mula

Subekti lantas menyebutkan dua tantangan di dalam pengolahan limbah di ibu kota yang menjadi awal mula inovasi pengolahan limbah tinja ini dimulai.

Saat ini pengolahan limbah tinja masih dilaksanakan secara konvensional. Selain memakan kala lama, baku mutu air yang dihasilkan pun masih belum mampu mencukupi batu mutu air bersih yang dimandatkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 68 Tahun 2016 mengenai baku mutu air limbah domestik.

Untuk mengukur mutu air limbah, parameter yang dipakai adalah takaran kegiatan mikroorganisme di dalam air (Biological Oxygen Demand/BOD), dan takaran jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan organik di dalam air (Chemical Oxygen Demand/COD).

Turut pula diperhatikan takaran kotoran yang terlihat (Total Suspended Solid/TSS), takaran minyak dan lemak, takaran amonia, dan juga takaran keseluruhan bakteri Coliform.
Dengan treatment sekarang ini baik itu konvensional maupun mechanical itu sebetulnya hasil baku mutunya itu juga berat untuk mencukupi baku mutuh Permen LH No.68 berasal dari IPLT ini.

Selain itu, cost operasional untuk produksi secara konvensional juga tergolong mahal dan lama.

“Sehingga kami berinovasi bagaimana tersedia pengembangan perihal treatment ini,” cetusnya.

Sekitar satu setengah tahun lalu, pihaknya bertemu dengan dua penemu alat pengolah limbah menjadi air besih yang telah diaplikasikan di wilayah pengeboran minyak di Pekanbaru, Riau.
Dia lantas meminta dua penemu, Andri Oba dan Chairunnas, untuk mengembangkan alat mirip untuk produksi air limbah tinja.

“Tentu menengahi minyak dengan air tidak serupa dengan menengahi kotoran. Itulah yang kami kembangkan lantas kami kerjasama dengan pencipta alat ini dan tempo hari hasilnya mampu untuk produksi limbah lumpur tinja,” ujar dia.

 

Lebih efisien dan mutu lebih baik

Setelah proses pengembangan sepanjang sekitar satu tahun, pada akhir Mei lantas mesin ini diresmikan. Teknologi baru yang dinamai Andrich Tech System ini diklaim mampu merubah limbah tinja menjadi air bersih di dalam kala 30 menit.

Merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 68 Tahun 2016 Tentang Bahan Baku Mutu Air Limbah Domestik, takaran BOD di dalam satu liter air limbah ditetapkan tak boleh lebih berasal dari 30 miligram per liter. Sedangkan air olahan berasal dari mesin Andrich jauh lebih rendah berasal dari itu.

“Kemarin hasil alat ini itu BODnya mampu capai 3 [miligram per liter], itu kan benar-benar bagus sekali. Ini yang perbaikan kualitasnya luar biasa. Sebelumnya, BOD sekitar 75-an,” ujar Subekti.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno menyebutkan bahwa pemanfaatan alat baru berikut mampu produksi 80 m3 limbah tinja menjadi 60 m3 air bersih di dalam kala kurang lebih 30 menit.

Dia menargetkan pemasangan 200 unit alat berikut secara bertahap di permukiman padat Jakarta untuk mengatasi masalah limbah.

Dalam peresmian yang digelar 23 Mei lalu, Sandiaga Uno lihat sendiri air limbah yang pekat menjadi jernih sehabis diolah hanya di dalam kala setengah jam. Dia lebih-lebih sempat menadahkan air pada ke dua tangannya dan nampak mengarahkan air berikut di dalam mulutnya.

Layakkah diminum dan menyucikan diri?

Hal ini lantas menyebabkan pertanyaan, apakah air limbah olahan mesin ini mampu diminum?

Meski mutu air bersih berasal dari olahan teknologi ini setara dengan baku mutu air bersih di Singapura, Dirut PD PAL Jaya, Subekti, memastikan bahwa air bersih ini bukan untuk dikonsumsi, melainkan untuk utilitas kebersihan.

“Hasil ini adalah air bersih, mampu digunakan untuk siram-siram taman, cuci mobil dan sebagainya. Tapi untuk nanti sampai dikonsumsi dan sebagainya itu kapasitasnya bukan di PD PAL lah yang menyampaikan,” ujar dia.

Tak mampu dipungkiri, air bersih olahan tinja ini menyebabkan polemik di masyarakat. Masyarakat Indonesia yang notabene beragama muslim lantas mempertanyakan apakah air olahan limbah ini mampu digunakan untuk menyucikan diri sebelum laksanakan ibadah, atau wudu. Bagaimana respon Subekti?

“Ya juga itu, itu bukan kapasitasnya PD PAL. Tetapi sebetulnya kenapa pertanyaan ini nampak gara-gara kebetulan itu tinja, coba terkecuali riset kami jikalau tersedia di sungai, orang akan beranggap biasa saja,” belanya.

Padahal, Bekti melanjutkan, sungai di Jakarta pun penuh dengan polutan. Misalnya, Sungai Ciliwung memiliki kandungan bakteri e-colinya sebanyak 35 juta per 100 cc, padahal baku mutunya hanya 3000 miligram per liter.

“Mungkin nggak seheboh ini terkecuali saya ujicoba di depan kantor, saya ambil berasal dari Ciliwung lantas kami olah, barangkali orang akan menganggapnya biasa saja alat ini,” kata dia.

Menanggapi polemik itu, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan menyebutkan air hasil olahan tinja itu masih wajib diuji terkecuali mendambakan digunakan untuk keperluan sehari-hari, lebih-lebih jikalau digunakan berwudhu.

Pengujian itu wajib termasuk dua aspek, yaitu kebersihan dan kehalalan.

Menurut Amirsyah, alat pengujian itu pun wajib dengan teknologi yang mencukupi standar halal dan terjamin mutu kebersihannya berasal dari bakteri dan juga virus.

Namun ternyata, pengolahan limbah tinja tidak sampai di situ saja. Subekti menuturkan kala ini pihaknya sedang laksanakan riset untuk mengembangkan zat padat berasal dari olahan limbah tinja untuk digunakan sebagai energi alternatif.

“Nah ini yang kami coba riset untuk jadikan briket. Ternayata briket ini memadai prospektif. Karena riset kami nilai kalorinya 3.000-4.500 kilo kalori, itu sesuai dengan batubara muda,” kata dia.

Dia mengilustrasikan, 1 kg berasal dari hasil limbah tinja mampu untuk membakar sepanjang 2 jam secara konsisten menerus.

Selain itu, gasifikasi berasal dari hasil olahan limba tinja ini juga mampu menghasilkan listrik.

“Kita uji coba dengan gasifikasi, 12 kg itu mampu menyalakan 5000 watt sepanjang 20 menit,” imbuh Subekti.

By Ibrahim